Haruskah Negeri ini tanpa sepakbola?

Innalillahi wainna ilaihi raji'un...

Di awal artikel ini saya ingin menyampaikan dukacita mendalam atas peristiwa kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Malang setelah pertandingan Liga 1 Arema Malang vs Persebaya Surabaya.

Pertandingan sepakbola yang saya saksikan lewat layar kaca tersebut menelan korban ratusan orang meninggal dunia. Sepakbola sejatinya sebagai hiburan dan membangun semangat sportivitas berubah mencekam dan menakutkan.

Tidak ada pertandingan yang seharga dengan nyawa manusia. Belakangan kita terbiasa dengan kalimat tersebut. Karena memang kerusuhan seakan bersahabat dengan sepakbola Indonesia. Lantas kapan nyawa manusia dikorbankan terus menerus hanya untuk sepakbola? Sampai kapan, kita akan terus berduka selepas menikmati sepakbola?

Kalau kita berpikir singkat, barangkali hanya meletakkan kasus ini pada kerusuhan supporter misalkan. Tentu arah solusinya hanya pada hukuman federasi kepada klub atau panpel. Dan seperti itu sudah seperti template. Pertandingan sepakbola lanjut kerusuhan lanjut korban jiwa lanjut hastag dukacita lanjut liga berhenti lanjut investigasi lanjut hukuman lanjut liga main lagi. Dan begitu terus terulang. Seakan jatuhnya korban jiwa dalam sepakbola seperti hal lumrah.

Peristiwa Kanjuruhan semestinya bukan hanya tragedi sepakbola, melainkan tragedi Indonesia. Dimana pemerintah wajib hadir menangani dan memutus mata rantai keganasan sepakbola Indonesia ini. Semestinya, akan ada pertanggungjawaban moral dari pihak terkait. Entah dari regulasi pertandingan PSSI ataupun keamanan dari Kepolisian. Minimal level Kapolres atau Kapolda dan ketua PSSI mundur dari jabatannya sebagai bentuk pertanggungjawaban moral kepada masyarakat. Diluar apapun hasil investigasi peristiwa tersebut.

Kalau pemerintah masih menggunakan cara biasa untuk menyelesaikan tragedi ini, sungguh sangat menyedihkan. Seratus lebih nyawa melayang dianggap tragedi biasa layaknya peristiwa-peristiwa sebelumnya. Barangkali nurani para petinggi kita juga ikut mati. Mungkin akan lebih baik kita berharap FIFA sebagai regulasi sepakbola tertinggi dunia menghukum sepakbola kita agar menjadi trigger perbaikan. Bisa hukuman larangan penyelenggaraan event internasional ataupun pembatalan sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 yang akan berlangsung tahun depan.

Kecintaan dan antusiasme masyarakat Indonesia terhadap sepakbola semestinya aset penting untuk menjadi bagian dari pembangunan bangsa ini.

Kalau dilihat dari sudut pandang lain, bahwa sepakbola adalah miniaturnya kehidupan. Jangan-jangan sepakbola Indonesia adalah wajah negeri ini.

Sebagai masyarakat biasa kita bisanya terus berharap agar sepakbola bisa kita nikmati tanpa kekerasan apalagi korban melayang. Kita berharap melalui olahraga ini muncul prestasi dan kebanggaan. Apa sih prestasi sepakbola Indonesia? Hampir tidak ada. Kabar duka datang terus menerus, kabar prestasi tak pernah ada. Ataukah kita harus menghentikan sepakbola untuk menghentikan jatuhnya korban jiwa?

Sungguh memilukan dan pertanyaan yang berat untuk dijawab. Khususnya bagi saya sebagai penikmat sekaligus pelaku. Tapi apa daya kalau harus memilih nyawa atau sepakbola. Tentu saya memilih nyawa lebih penting daripada sepakbola. Sepakbola profesional bisa dihentikan, tapi memainkan sepakbola bisa terus berlangsung. Akan tetapi nyawa tidak ada istilah profesional atau amatir. Nyawa yang hilang tidak akan pernah kembali. Selamanya...

Alfatihah...

Sumber: detik sport 


Comments

Popular posts from this blog

"molimo"

Buka Mata , Buka Telinga

Apa arti nama dalam selembar amplop?