"molimo"
Ada sebuah ungkapan unik yang
menggambarkan problematika mertua dengan menantu. Ungkapan atau istilah
tersebut saya dengar pertama kali disingkat dengan kata “molimo”. Pada awalnya
saya mengenal istilah tersebut adalah
singkatan dari beberapa kata perbuatan tercela dalam masyarakat seperti maling,
madat, madon, main dan minum.
Tetapi ternyata ada singkatan lain dari ungkapan “molimo” tersebut, yakni madep mantep mangan melu moro tuo, moro tuo
muni-muni mantu minggat, moro tuo mati mantu marisi. Dalam bahasa Indonesia
ungkapan tersebut kurang lebih berarti keyakinan
ikut makan dan tinggal dengan mertua, mertua marah-marah menantu pergi dari
rumah, mertua meninggal kemudian menantu mendapatkan warisan”. Dalam
menyingkat istilah tersebut ada beberapa perbedaan, selain “molimo” ada yang
menyebut dengan istilah “mosongo” atau “molimolas” dan lain sebagainya.
Istilah ini familiar di telinga saya
sendiri, saya pun terkadang juga memakai istilah ini sekedar untuk guyonan saya dengan teman-teman atau
saudara. Saya tidak mengerti sejarah istilah ini bisa lahir seperti apa atau
barang kali ada peristiwa apa sehingga istilah ini bisa muncul di tengah-tengah
masyarakat kita. Saya sedikit mencermati ungkapan ini sehingga memacu adrenalin
saya untuk menulis. Yang saya cermati adalah istilah ini menggambarkan kondisi real fenomena masyarakat kita pada
umumnya. Kondisi ini sangant sensitive dalam perspektif saya pribadi, saya memang
belum berumah tangga sehingga tidak masuk dalam domain ungkapan tersebut,
tetapi saya berada dalam lingkungan yang terkadang ada fenomena sosial antara
mertua dengan menantu yang terdapat kaitan sangat erat dengan ungkapan “molimo”
tersebut.
Dalam ungkapan “molimo” domain
individu yang dimaksud adalah mertua dengan menantu. Mertua dan menantu sebelum
ditakdirkan bertemu adalah individu yang belum saling mengenal atau bisa saya
katakan satu sama lain adalah orang lain yang kemudian menjadi keluarga setelah
ada ikatan pernikahan. Nah, ungkapan “molimo” tersebut menggambarkan bahwa
hubungan antara mertua dengan menantunya rentan dengan konflik apabila tinggal
satu rumah.
Sebenarnya kalau berbicara masalah
konflik, saya menulis selama sehari semalam tidak akan ada habisnya, karena
konflik selalu ada dimana-mana. Saya berpendapat sebenarnya hubungan menantu
dengan mertua sebenarnya sama saja dengan hubungan sosial lainnya, hanya saja
kesadaran siapa diri kita dan dengan siapa kita berinteraksi itu yang akan
menjadi pembeda. Misalkan kita berada dalam organisasi apabila dipercaya
menjadi ketua dan kita berhasil menjalankannya, belum tentu juga akan berhasil
menjaga hubungan baik dengan saudara ataupun kerabat. Begitu juga apabila
laki-laki sebagai kepala rumah tangga berhasil menjaga hubungan antara
suami-istri dan anak belum tentu juga sukses berorganisasi ataupun dengan
kerabat lain. Intinya adalah setiap lingkungan dimana kita berinteraksi
memiliki karakteristik yang berbeda.
Tentu saja kita tidak mau termasuk
dalam ungkapan “molimo”. Konflik dengan mertua bisa kita hindari sedini mungkin
jika kita menyadari sejak awal (sebelum menikah). Menikah adalah indikator
kedewasaan individu, termasuk siap untuk lepas dari pengaruh orangtua
(menantu). Apabila hal ini tidak disadari dan kita tidak siap mandiri setelah
menikah kita akan menambah masalah yang lebih luas, yakni dengan mertua.
Menurut saya tidak ada orang tua yang tidak bahagia apabila melihat anaknya
bisa berumah tangga dan hidup mandiri. Hanya orangtua berhati malaikatlah yang
bisa menjaga keluarganya tetap utuh bersama keluarga anaknya.
Ingat, pada hakikatnya sisi lain
dari sebuah pernikahan adalah menambah masalah. Kita hidup sendiri saja
terkadang masih bermasalah, apalagi kita menambah orang dalam kehidupan kita
yang juga punya perasaan yang harus dijaga.
Jadi menurut saya menjadi sebuah keharusan
bagi seseorang untuk bisa hidup mandiri apabila telah memutuskan untuk menikah.
Entah mandiri secara pendidikan, secara emosi, ataupun secara ekonomi. Inilah
yang akan menghindarkan diri kita dari ungkapan memalukan tersebut. Tetapi
memang dalam beberapa kasus saya menilai seorang anak juga wajib mendampingi
orangtua/mertuanya dengan syarat apabila orangtua/mertuanya tersebut memang
membutuhkan bantuan. Dan sebagai anak kita wajib merawat/menjaga orangtua.
Seandainyapun harus menikah dalam keadaan belum siap pisah dari orangtua,
sepasang pengantin harus memahami keadaan dirumah tersebut dan mampu
MENYESUAIKAN.
Kita tidak bisa memungkiri, bahwa
ungkapan “molimo” tidak hanya sekedar ungkapan guyonan semata, ungkapan ini juga sangat penting untuk intropeksi kita
semua. Kita tidak bisa mengelak bahwa urusan makan dan urusan warisan yang ada
dalam ungkapan tersebut bisa memicu konflik kita dengan orang terdekat kita
bahkan orang yang melahirkan kita.
Akhir kata dengan menyadari arti ungkapan
madep mantep mangan melu morotuo, morotuo
muni-muni mantu minggat, morotuo mati mantu marisi kita bisa mencegah hal-hal yang akan merusak hubungan antara mertua dan menantu, sehingga ungkapan tersebut tidak akan menimpa diri
kita.
Sekian…
Comments