AHOK dalam pikiran saya
Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama atau yang sering dikenal Ahok menjadi salah satu pejabat yang
fenomenal saat ini. Kepemimpinannya yang tak biasa sering mengundang kritikan
bahkan hujatan. Hal tersebut tak luput dari gaya Ahok yang ceplas ceplos,
tegas, dan cenderung tanpa kompromi. Hal ini sangat berbeda dengan Gubernur
sebelum-sebelumnya di DKI termasuk yang terakhir Gubernur Jokowi yang sekarang menjadi RI 1. Dalam
beberapa kasus Ahok juga kedapatan tidak mampu mengendalikan emosi di depan
media, bahkan mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan seorang
Pemimpin.
Bagaikan dua sisi mata uang, tak
sedikit pula yang kagum dengan Ahok yang dinilai sukses memperbaiki Ibu Kota
dengan keberanian dan ketegasannya. Tetapi, menjelang Pilkada DKI yang akan
berlangsung Tahun depan, seolah banyak pihak dan media membicarakan gaya
kepemimpinan Ahok dengan kondisi Jakarta dan kasus yang menimpanya saat ini.
Dipungkiri atau tidak, banyak survey yang menunjukkan bahwa elektabilitas Ahok
masih sangat tinggi. Ini artinya kemungkinan Ahok untuk kembali memimpin Ibu
Kota terbuka lebar. Apakah semua ini hanya cara untuk menjatuhkan Ahok atau
tidak saya sulit membedakannya.
Yang menarik dari pengamatan saya
adalah perang opini dalam menilai Ahok dari sisi latar belakang Ras, Suku, dan
Agama. Kita tahu, bahwasanya Ahok berasal dari golongan minoritas Negeri ini.
Meski demikian banyak yang mengatakan
bahwa faktor tersebut tidak mengurangi elektabilitas sebagai Gubernur. Bahkan
dengan segala kontroversi sikap dan ucapannya, Ahok tetap memimpin bursa DKI 1
untuk menghadapi Pilkada tahun depan. Saya tertarik mengikuti berita tersebut
bukan karena saya suka membahas masalah SARA, melainkan respon saudara saya
sesama muslim yang terkadang menurut saya berlebihan menanggapi fenomena Ahok
ataupun berita yang tayang di media cetak ataupun elektronik.
Bagi saya Ahok dapat memberi
pelajaran bagi saya sendiri dan umat Islam yang mayoritas di Negara kita.
Sayangnya, yang terjadi saat ini umat Islam tampak panik dan lebih memilih
mengikuti issu yang dilempar media. Kenapa saya katakan panik, hal ini lebih
dikarenakan ketidak mampuan umat Islam dalam mencetak kader politik yg
"selevel" dengan Ahok. Ingat, kader politik yang sukses menjabat
sebagai pimpinan daerah seperti Bupati maupun Gubernur adalah pemenang
mengumpulkan pemilih terbanyak, bukan yang terbaik. Sehingga, jika dewasa ini
banyak minoritas yang mampu unggul dalam pemilu jangan salahkan ras maupun
Agamanya. Lebih tepatnya harus dilihat para pemilihnya. Dalam ruang lingkup yang
lebih kecil, misalkan pilkada Solo, akhirnya pun dimenangkan incumbent yang berasal dari Agama
minoritas (non muslim). Meskipun faktanya Islam adalah Agama mayoritas di Solo
dan banyak orang Islam menyuarakan dilarang memilih pemimpin dari luar
golongannya (Non Muslim). Lantas apa gunanya kita berkoar-koar melarang pejabat Non Muslim untuk menjadi pimpinan dan
melarang orang lain memilih pemimpin Non Muslim?.
Sebenarnya Indonesia memiliki
banyak kader beragama Islam yang mumpuni dalam pemahaman Agama yang kemudian
mempengaruhi cara-caranya dalam berpolitik. Beberapa orang yang bisa saya
contohkan adalah Walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Walikota Bandung Ridwan
Kamil, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Dan lain-lain.
Kembali ke Ahok, sikap yang
semestinya kita lakukan (Umat Muslim) adalah instropeksi diri dan memperbanyak
kaderisasi pemimpin seperti Ibu Risma dan pemimpin Islam lainnya, dari pada
harus sibuk mengkritisi atau mencela Ahok.
Untuk menyampaikan ajaran Islam,
bahwa umat Islam dilarang memilih pemimpin Non Muslim, dalam konteks ajaran
atau dakwah saya sepakat. Tetapi dalam kondisi situasi umat Islam saat ini, itu
bisa menjadi bumerang. Kenapa?, ingat musuh dan yang membenci Islam saat ini
lebih smooth dan tertata rapi. Mereka
hanya menunggu sikap Umat Islam dengan issu yang mereka lempar, yang terkadang
hanya sampah belaka. Buktinya adalah maksud kita dakwah menyampaikan ajaran
Islam perihal larangan memilih pemimpin dari Agama lain, itu dilakukan secara
massif mendekati pilkada hanya menimbulkan efek yang buruk. efeknya adalah
Islam tidak toleran, Islam tidak menghargai kebhinnekaan dan lain-lain. Parahnya
lagi partai-partai Islam yang semestinya melahirkan kader pemimpin Islam justru
terjerumus ke hal-hal yang jauh dari tuntunan Agama Islam. Kegamangan inilah
yang membuat Umat Islam mudah terpecah belah. frame umat Islam dengan mudah dibentuk oleh oknum media yang benci
dengan Islam. Sehingga pemimpin non muslim pun akan mulus melaju memimpin
setiap daerah di Negeri kita.
Sikap yang saya sarankan adalah
kita tidak terfokus kepada Ahok. Melainkan pada partai partai Islam yang saat
ini ada di Indonesia. Kita kritisi orang-orang golongan kita sendiri (Umat
Islam) untuk bisa kembali menerapkan tuntunan Islam secara kaffah. Sehingga diharapkan akan lebih banyak lahir pemimpin
seperti Risma, Ridwan Kamil, dan Ahmad Heryawan atau yang lainnya yang sudah
saya contohkan di atas.
Jikapun akhirnya Ahok tidak
terbendung dan berhasil memiliki suara terbanyak dan kembali memimpin Ibu Kota,
sudah saatnya umat Islam menguatkan dakwah di akar rumput. Dari keluarga,
kelompok RT, RW, hingga wilayah. Dan siapa yang bertugas? kita semua umat
muslim. Biarkan keadaan sekarang, kita bersabar menunggu dan berdoa. Jangan
terpancing sesuatu yang membuat kita bunuh diri.
Ini perspektif saya melihat Ahok. Wallahu A'lam
Bishawab….
Comments