Instropeksi orang tua dan pentingnya standarisasi penerimaan siswa baru



Solopos edisi Jum’at, 6 Desember 2013 mengangkat headline tentang kenakalan remaja dengan judul “Ironis, siswa lukai guru”. Dalam laporan tersebut dijelaskan seorang siswa dari SMK Muhammadiyah 1 Solo melukai guru olahraga dengan pisau cutter, sehingga guru tersebut harus dilarikan ke RS Kustati dan mendapat 38 jahitan di bagian lengan kanannya yang sobek karena sayatan sepanjang 10cm dengan luka sedalam 0,5cm.
Headline Solopos tersebut memang sangat memprihatinkan dimana peristiwa kekerasan terjadi di area dunia pendidikan yang “HARAM” adanya kekerasan. Sebagai pihak luar memang sulit menyimpulkan penyebab kejadian ini, karena kepala sekolah saat dikonfirmasi wartawan hanya menjawab bahwa persoalan telah diselesaikan secara kekeluargaan.
Sebenarnya kasus seperti ini bukan pertama kalinya terjadi dalam dunia pendidikan kita. Kita harus mencermati masalah ini secara menyeluruh, tidak hanya berbicara yang salah mana atau yang benar siapa antara guru dan murid. Kenakalan remaja seperti ini terjadi karena hal-hal yang terkadang diluar kendali pihak sekolah maupun keluarga. Keluarga mempunyai peran vital dalam menjaga emosi anak, hal ini tentunya dilakukaan dengan kasih sayang orang tua dan perhatian secara menyeluruh. Inilah yang terkadang yang sering dilalaikan para orang tua yang cenderung sibuk dengan dunia pekerjaan atau lainnya, sehingga secara psikologis anak kurang perhatian.
Lembaga pendidikan formal dimana institusi pendidikan setingkat SMA/SMK seharusnya juga mampu menjadi tangan kanan atau kepercayaan keluarga dalam mendidik. Jika anak sudah berada dalam lingkungan sekolah, sebenarnya orang tua sudah memiliki wakil yang paling tepat dalam menyayangi khususnya dalam bentuk pendidikan intelegensi si anak serta transfer karakter dari guru ke siswa. Inilah dalam dunia pendidikan kita yang masih kurang. Selama ini yang berjalan guru hanya sebatas memberikan pendidikan teoritis. Dalam konteks ini diperparah dengan sistem kelulusan Ujian Akhir Nasional yang memang “menuhankan” nilai teoritis.
Pelajaran teoritis yang bersifat pelajaran umum memang penting dan ini merupakan salah satu tujuan pendidikan dalam mencerdaskan anak didik dari sisi intelektual. Tetapi hal ini terlihat sangat dominan sehingga mengalahkan pentingnya kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Padahal dua hal inilah perangkat terpenting dalam membentuk karakter siswa.
Dalam perspektif lain keadaan ini diperparah dengan tindakan semena-mena dari pihak sekolah dalam menyikapi perilaku siswa. Tentu saja hal ini diluar konteks punishment. Apabila hal ini terjadi pada anak didik yang kurang memperoleh perhatian atau pendidikan orang tua dalam lingkup keluarga sehingga emosi si anak cenderung tidak stabil, akan mengakibatkan malapetaka. Karena bisa saja siswa terpancing emosinya dan membalas perlakuan gurunya dengan lebih parah.  Berdasar indikasi inilah peristiwa tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi orang tua untuk lebih perhatian mengikuti perkembangan anak khususnya dari sisi emosi/psikologis. Karena jika hal ini terlewatkan akan berdampak buruk bagi lingkungan anak di luar lingkungan keluarga salah satunya di lingkungan sekolah.
Sementara bagi pihak sekolah atau dalam hal ini SMK Muhammadiyah 1 Solo tempat dimana insiden tersebut terjadi tidak ada salahnya jika melakukan koordinasi internal guna menarik atau mencari penyebab peristiwa ini secara menyeluruh dan tidak melihat kasus ini hanya sepotong yang hanya akan membawa siapa yang salah dan siapa yang benar pada kasus tersebut. Kenakalan remaja merupakan masalah bagi semua sekolah. Siswa berada di sekolah bisa diibaratkan layaknya bahan mentah yang akan diolah menjadi sebuah produk yang akan dijual ke pasaran dengan orientasi profit bagi produsennya. Hal inilah yang harus dicermati dalam manajemen sekolah. Setiap sekolah memiliki visi misi sebagai pedoman yang akan membawa arah pendidikan siswa di sebuah sekolah. Dalam mewujudkan visi misinya sekolah harus punya standarisasi dalam menentukan indikator keberhasilannya. Layaknya produsen dalam mengolah produk berkualitas tentu saja bahan mentahnya maupun resepnya harus pilihan atau berkualitas pula.
SMK Muhammadiyah 1 Solo sebagai lembaga pendidikan Islam pasti memiliki visi misi lebih dari sekedar siswanya berprestasi dari sisi akademis melainkan juga menginginkan siswanya memiliki Akhlaq yang mulia sebagai insan beriman. Dengan visi misi yang seperti ini pihak sekolah harus mampu menganalisa dengan rentang pendidikan SMK selama tiga tahun siswa seperti apa yang bisa di”buat” sedemikian rupa sehingga setelah lulus nantinya visi misi sekolah tersebut berhasil dicapai pada setiap anak didik. Inilah yang dinamakan standarisasi dalam penerimaan anak didik baru, apabila sekolah telah menetapkan standarisasi ini sekolah akan mampu menjadikan siswanya sesuai visi misi bersama tahap demi tahap selama tiga tahun menjadi anak didik yang bermulai dari masuknya siswa pada kelas pertama.
Hal ini memang terkesan idealis, dimana permasalahan terbesar dalam sebuah lembaga pendidikan swasta adalah sumber dana. Sehingga sekolah harus memutar otak untuk mendapatkan siswa guna melalui SPP siswa sekolah menjalankan operasionalnya. Padahal mendapatkan siswa adalah sebuah kompetisi dengan sekolah lainnya. Apabila permasalahan ini tidak bisa dicarikan solusi maka sekolah akan cenderung asal-asalan menerima siswa dengan tujuan operasional sekolah tetap berjalan atau bahasa jawanya sing penting enthuk murid.
Jika hal ini terus berlanjut dan sekolah mendapat siswa yang memang telah kurang terdidik dalam keluarga atau bisa dikatakan sebagai bahan yang “rusak” atau tidak sesuai standar yang telah ditetapkan tentu pabrik secanggih apapun dalam hal ini sekolah akan kesulitan mendidik siswa tersebut sesuai visi dan misi yang telah dicanangkan.
Kita semua tentu berharap peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi dalam dunia pendidikan. Untuk menghasilkan generasi penerus yang berkualitas orang tua dalam hal ini keluarga harus mendidik serta mengawasi pertumbuhan dan perkembangan anak secara maksimal sehingga kelak saat si anak saatnya berada dalam lembaga pendidikan formal bisa menyesuaikan standarisai pendidikan sesuai visi dan misi sekolah tersebut.

Comments

Popular posts from this blog

"molimo"

Buka Mata , Buka Telinga

Apa arti nama dalam selembar amplop?