Oleh-oleh yang tak biasa dari Jogja
Yogyakarta atau yang lebih sering dipanggil
jogja merupakan salah satu wilayah yang menyimpan banyak potensi untuk
dikunjungi. Mulai dari potensi keindahan alam, wisata sejarah hingga potensi wisata kuliner khas daerah. Dearah
Istimewa setingkat provinsi ini tidak hanya menyimpan banyak potensi wisata
bagi para wisatawan asing maupun dalam negeri, Jogja juga dikenal dengan
sebutan kota pendidikan bagi mahasiswa. Dimana setiap tahun ajaran baru kota
ini selalu dipadati mahasiswa baru entah di kampus UGM, UNY, UMY, UIN, ataupun
kampus yang lainnya yang memang jumlahnya cukup banyak. Hal inilah yang
menjadikan Yogyakarta dihuni berbagai macam etnis dan budaya.
Saya secara pribadi juga memiliki kesan
tersendiri di Jogja, sejak kecil saya sering mengunjungi provinsi yang terdiri
dari satu kota dan empat kabupaten ini. Tujuan saya sekedar mengunjungi sanak
saudara yang memang tinggal di Yogyakarta. Sehingga secara tidak sengaja saya
menikmati setiap kunjungan saya.
Memang Yogyakarta adalah wilayah diluar Solo
yang paling sering saya kunjungi, sehingga secara tidak sadar saya memiliki
kesan tersendiri dengan Jogja, puncaknya ketika saya lulus sekolah tingkat SMA
saya memilih melanjutkan sekolah jenjang yang lebih tinggi di Provinsi yang
dipimpin seorang raja ini. Cerita singkat saya bisa kuliah di jogja adalah
bermula ketika saya memiliki keinginan sekolah di bidang olahraga. Sebenarnya
jogja bukan pilihan utama saya, hanya saja cita-cita saya sejak lama adalah
kuliah olahraga di Universitas yang terkenal. Nama-nama Universitas dalam
pikiran saya saat itu adalah ITB,UI, dan UGM. Hanya saja ternyata tiga kampus
tersebut tidak memiliki Fakultas Olahraga. Hingga akhirnya singkat cerita saya
memutuskan memilih Universitas Negeri Yogyakarta.
Bermula dari peristiwa inilah saya sekarang
merasa memperoleh sesuatu dari Kota Gudeg ini yang bisa saya jadikan oleh-oleh
bagi pembaca cahyoarea.blogspot.com.
Saya yakin para pembaca sudah sangat familiar
dengan oleh-oleh khas dari jogja. Beberapa yang bisa saya sebutkan diantaranya
adalah gudeg jogja, kaos dagadu, bakpia pathok, salak pondoh, batik jogja,
kerajinan perak kota gede, blangkon jogja, geplak, dan masih banyak lagi. Tapi
bukan itu oleh-oleh yang saya maksud. Masih ada lagi oleh-oleh “khas” dari
Jogja.
Perjalanan saya untuk berdomisili di Jogja
bermula pada tahun 2007 dimana tahun tersebut juga menjadi awal bagi saya
menjadi mahasiswa di UNY di Jurusan favorit saya yakni olahraga. Rasanya begitu
menyenangkan bisa kuliah di jurusan yang saya impikan. sehingga saya begitu
antusias setiap ada mata kuliah khususnya praktik.
Setahun pertama menjalani aktivitas sebagai
mahasiswa baru di Jogja ada satu sisi yang membuat saya merasa sedikit shocked berada dilingkungan yang relatif
baru bagi saya tersebut. Hal yang saya maksud adalah lingkungan pergaulan saya.
Dengan status saya yang saat itu berdomisili di Jogja memaksa diri saya untuk
memiliki lingkungan pergaulan baru yang tentu saja berbeda dari lingkungan
sebelumnya di Solo. Hal yang sangat membedakan dari lingkungan saya di Solo dan
di Jogja adalah karakter lingkungannya.
Sejak kecil saya dididik orang tua selalu dalam
lingkungan yang tidak se-majemuk saat saya berada di Jogja. Lingkungan
pendidikan saya sejak TK hingga SMU adalah lingkungan yang Agamis, masa kecil
saya yang merupakan masa pembentukan pondasi karakter selalu diisi dengan
pengetahuan Islami entah sejarah, akhlaq, fiqh, bahasa arab, Al qur’an hingga
Hadist disamping tentu saja ilmu pengetahuan umum. Sehingga kondisi ini yang secara
otomatis menjadikan diri saya individu yang lebih agamis, jika dibandingkan
lingkungan saya di Jogja. Jujur hal inilah yang membuat diri saya sedikit tertutup
atau tidak seterbuka sekarang untuk bisa bergaul dengan lingkungan yang
mempunyai jalan hidup berbeda dengan diri saya.
Mahasiswa yang berada di Yogyakarta adalah
orang-orang dari seluruh wilayah di Indonesia bahkan dari luar negeri, serta
dari ras, suku, dan agama yang beragam. Dan kampus saya tempat dimana setiap
hari saya bersosialisasi bisa saya bilang adalah miniaturnya Yogyakarta,
sehingga saya bergaul dengan semua orang tersebut. Yang membuiat saya shocked dengan lingkungan saya yang baru
ini tentu saja adalah situasinya yang tidak se-Agamis lingkungan tempat asal
saya di Solo. Di titik inilah saya merasa harus belajar menerima lingkungan
baru yang tidak sesuai dengan hati nurani atau teori yang selama ini ditanamkan
dalam diri saya. Di lingkungan saya yang baru secara teoritis banyak hal yang
menurut pandangan saya tidak sesuai dengan pendidikan Agama yang selama ini
saya pelajari. Di tahun pertama saya merasa seperti sendiri meskipun secara
fisik saya bergaul. Secara psikologis mungkin saya tidak bisa menikmati/belum
siap dengan lingkungan baru saya ini.
Resiko yang saya terima dari lingkungan baru
ini saya pernah mendapat panggilan/gelar “ba’asyir”. Mungkin mereka menilai
saya sosok seperti itu. Bahkan yang sedikit extreme
adalah saya pernah dikira pecinta sesama jenis/homo. Mungkin hal tersebut terjadi karena hubungan saya dengan
lawan jenis tidak seperti lingkungan saya tersebut. Hal ini barangkali terkesan
sebuah bentuk candaan dari lingkungan, tetapi bisa memberi gambaran pandangan
teman-teman saya seperti apa kepada diri saya.
Akhirnya waktu yang menjawab semua, pendidikan
agama yang saya dapat bisa saya artikan bahwa melaksanakan nilai-nilai agama
secara riil dalam kehidupan
masyarakat tidak semudah saat kita mempelajarinya atau kata lainnya tidak semua
orang bisa memahami nilai-nilai agama secara praktis dan hanya sekedar teoritis,
sehingga hal tersebut terkadang akan membuat tembok-tembok kokoh dalam diri
yang menghalangi golongan lain untuk masuk dalam kehidupan kita.
Berjalannya waktu dan usaha saya untuk
menyelami lingkungan baru saya, akhirnya tembok-tembok yang membetengi diri
saya selama ini hancur. Belajar menerima dan menghargai jalan hidup dengan
sikap yang berbeda dan dibungkus dengan pertemanan. Tapi yang perlu digaris
bawahi semua itu berjalan tanpa mengurangi sedikitpun pondasi aqidah saya.
Dampak positif utama yang saya dapatkan dari
sini adalah konsep agama saya ISLAM RAHMATAN LIL’ALAMIN benar-benar bisa
diterapkan. Pendidikan agama yang ditanamkan orang tua dalam diri saya sejak
kecil disinilah benar-benar diuji. Bagaimana kita bisa menerapkan kebenaran
konsep tersebut jika lingkungan kita hanya seragam?. Tentunya itu menjadi pertanyaan
besar sekaligus instropeksi bagi kita semua.
Pertanyaan itu bisa saya jawab tentunya setelah
pernah mengalami menjadi mahasiswa di Jogja. Inilah oleh-oleh yang bisa saya
berikan kepada para pembaca. Tentunya oleh-oleh ini tidak seperti biasanya yang
anda dapatkan di Jogja seperti gudeg jogja, kaos dagadu, bakpia pathok, salak
pondoh, batik jogja, kerajinan perak kota gede, blangkon jogja, geplak, dan
lain-lain.
Semoga bermanfaat. Sekian dan Terimakasih…
Comments